10.1.11

Nasionalisme Dan Sepakbola Indonesia

Ketika wacana nasionalisme mewarnai persepakbolaan Indonesia...

Apakah ada keterkaitan langsung antara nilai nasionalisme dan prestasi sepakbola sebuah bangsa?

Bagi pandangan universialis, nasionalisme adalah paham yang mulai digerogoti zaman. Pakar ilmu sosial politik Anthony Giddens pernah menyebutkan, begitu era Perang Dingin usai muncul era posmodern dengan persekutuan regional sebagai salah satu penanda yang paling signifikan.

Muncul lah Uni Eropa. Perbatasan (frontier) mulai terhapus dan melahirkan batasan (border). Secara fisik, garis perbatasan antarnegara sudah menghilang dan hanya ada batasan yang sulit dinilai secara kasat mata.

Di dunia sepakbola, Uni Eropa melahirkan sebuah kebijakan yang tak pernah terbayangkan generasi paman kita: Dekrit Bosman. Setelah 1995 sepakbola Eropa tergopoh-gopoh mengadopsi definisi baru tentang "pemain asing". Berdasarkan peraturan yang bermula karena sengketa antara seorang pemain Belgia dan klubnya itu, status pemain asing tidak lagi sekadar dinilai berdasarkan paspornya. Pemain dari negara anggota Uni Eropa bebas mencari nafkah di sesama negara anggota. Proteksi runtuh, pemain asing -- asal negara Uni Eropa maupun bukan -- pun membanjiri kompetisi Eropa.

Nasionalisme atau paham kebangsaan serupa barang semu. Tidak berbentuk dan hanya ada di dalam benak kepala orang banyak. Benedict Anderson mengatakan, bangsa-bangsa adalah komunitas yang dibentuk secara sosial dan diciptakan dalam persepsi mereka yang berada di dalamnya. Prinsip kebangsaan ini mendapat tempat lebih luas secara politis ketika orang membentuk negara.

Sepakbola turut memberikan ruang atas terjadinya persaingan antarbangsa atau antarnegara salah satunya melalui sistem kejuaraan yang dikenal sejak olahraga si kulit bulat ini mewabah secara global.

Dalam ruang yang paling kecil terjadi ketika Indonesia berpartisipasi di AFF Suzuki Cup 2010 lalu. Kebetulan atau tidak, Indonesia mengawali turnamen sekaligus mengakhirinya dengan menghadapi Malaysia. Hubungan Indonesia dan Malaysia tak ubahnya seperti dua negara tetangga lain di dunia. Saling cela, saling bersaing, saling cemburu, tetapi sebenarnya saling membutuhkan.

Malaysia dalam banyak hal sebenarnya mengagumi Indonesia. Dalam sebuah percakapan dengan seorang teman dari negara jiran itu di Kuala Lumpur dua pekan lalu, generasi muda Malaysia sebenarnya mengakui keunggulan berbagai produk budaya Indonesia. Sayangnya, Indonesia tidak memandang fenomena itu sebagai sebuah hegemoni melainkan menganggapnya sebagai produk yang eksklusif.

Tapi, di lapangan sepakbola Malaysia berhasil mengungguli Indonesia dalam dua pertemuan. Jika masyarakat Indonesia merayakan pencapaian timnas di AFF Suzuki Cup dengan gegap gempita, begitu pula dengan masyarakat Malaysia. Jika kepentingan politik Indonesia menempatkan sepakbola di pentas utama, begitu pula halnya dengan Malaysia. Sebabnya sepakbola dianggap berhasil menggelembungkan sikap nasionalisme sepanjang turnamen digelar.

Nasionalisme yang sudah ditinggalkan kalangan posmodernis tetap menjadi barang penting bagi negara dunia ketiga seperti Indonesia dan Malaysia. Jika menilik teori modernisasi Anthony Giddens, entah berada di tahap berapa Indonesia sekarang ini. Bukan negara primordial yang feodalis, tetapi tidak jua lepas landas. Kesadaran manusia, demikian Karl Marx suatu ketika, tergantung pada alat produksi yang dipakainya. Bagi Marx, kesadaran manusia sangat diperlukan demi sebuah kemajuan. Indonesia dan Malaysia, selama AFF Suzuki Cup, ternyata menuju "kemajuan" yang berbeda.

Di Malaysia dewasa ini, kebangsaan adalah isu penting. Dalam setahun terakhir Pemerintah rajin mempropagandakan kampanye "1Malaysia", yang bertujuan menyatukan berbagai rumpun budaya -- terutama tiga etnis besar: Melayu, Cina, dan India. Bahasa ibu masih akrab di telinga masyarakat sehari-hari karena tidak semua orang Malaysia bisa berbahasa Melayu dan tidak semua orang Malaysia lancar berbahasa Inggris.

Kaum oposisi beranggapan kampanye "1Malaysia" bertujuan melanggengkan status quo generasi rezim pemerintahan dan Anda tahu bahasa yang digunakan media Melayu untuk menyebut kata "oposisi"? "Pembangkang". Dalam bahasa Indonesia, dua kata tersebut memiliki konotasi yang berbeda. Pendeknya, bagi Malaysia persatuan adalah isu penting.

Jauh sebelum AFF Suzuki digelar, Pemerintah Malaysia menyertakan sepakbola dalam kurikulum pendidikan nasional. Sejumlah fasilitas akademis plus sepakbola didirikan di beberapa negara bagian -- terbaru di negara bagian Pahang. Sistem pembinaan pemain muda ini turut ditunjang kebijakan federasi sepakbola setempat (FAM) yang melarang partisipasi pemain asing dalam kompetisi nasional.

Saat turnamen digelar, euforia kebangsaan Malaysia mulai terpantik ketika sukses menumbangkan juara bertahan Vietnam 2-0 pada laga pertama semi-final di Kuala Lumpur. Ketika laga kedua digelar di Hanoi, Perdana Menteri Dato' Sri Mohammad Najib berupaya merangkul generasi muda Malaysia dengan mendatangi langsung arena nonton bareng di kawasan Bukit Bintang. Tanpa ragu PM Najib duduk bersila bersama ratusan penonton lainnya menonton layar lebar sampai pertandingan habis.

Ketika juara, wajar kiranya Pemerintah Malaysia merayakannya dengan meliburkan hari terakhir di tahun 2010 untuk berpesta menyambut gelar pertama mereka di turnamen antarnegara Asia Tenggara itu. Sepakbola dianggap sebagai kebanggaan bersama warga Malaysia. Semua etnis berbaur menjadi satu dalam merayakan keberhasilan tim Harimau Malaya. Malaysia berhak merayakan kemenangannya.

Indonesia menjalani turnamen dengan penuh warna, gagal meski difavoritkan merebut gelar. PSSI bahkan merayakan pencapaian timnas terlalu dini dengan memberikan bonus usai semi-final dan mengajak seisi anggota tim berkeliling luar lapangan sepakbola. PSSI memanfaatkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk mendukung timnas dengan memaksa mereka mengantre tiket berjam-jam. Harga tiket jauh di atas biaya hidup sehari-hari di Jakarta, tapi peminat tetap membludak. Di negara kita, isu nasionalisme malah disetir ke arah kepentingan tertentu.
Kemajuan sepakbola Indonesia seperti terasa semu. Tingginya antusiasme publik tinggi masih dianggap sebagai bukti kebangkitan nasionalisme, padahal itu tak ubahnya wacana belaka. Seperti yang dikatakan seorang penonton ketika turnamen berlangsung, "Mau membela siapa lagi kalau bukan Indonesia, betapapun bobroknya sistem persepakbolaan negara ini."

Masalah mendukung timnas Indonesia itu adalah sebuah kewajaran. Kita tidak pernah bisa menilai kadar nasionalisme seseorang. Misalnya ketika wacana pemain keturunan dan naturalisasi didengungkan, tidak sedikit mencemooh karena menggunakan alasan rasio jumlah penduduk "pribumi" Indonesia dengan anggota skuad timnas. Ataupun ketika Boaz Solossa dicoret karena tak jua bergabung ke pemusatan latihan di Jakarta, orang ramai mempertanyakan nasionalismenya.

Ada yang merasa cukup nasionalis dengan hadir menonton di Senayan dan menyanyikan lagu Indonesia Raya secara bersama-sama. Sesungguhnya tidak kurang nasionalis pula para pembersih sampah yang membersihkan kompleks olahraga Senayan setelah pertandingan digelar.

Wacana nasionalisme yang kerap digunakan cenderung kontraproduktif karena menciptakan sekat-sekat antara yang sama dan yang beda. Hal ini jauh dari cita-cita luhur membentuk masyarakat madani yang memiliki karakter inklusif. Dan sepakbola tidak akan mampu dijadikan takaran mutlak menilai nasionalisme, begitupun sebaliknya.

Duet penulis Simon Kuper dan Stefan Szymanski menyimpulkan, penyelenggaraan turnamen besar seperti Piala Dunia sejatinya tidak bisa diharapkan menghadirkan profit ataupun menciptakan kesadaran baru tentang nasionalisme negaa penyelenggara. Lihat bagaimana Afrika Selatan harus mengeluarkan biaya besar-besaran untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010, padahal jumlah yang sama bisa dialokasikan untuk menyediakan fasilitas perumahan bagi kaum miskin. Namun, ada faktor yang juga dinilai penting, menyelenggarakan Piala Dunia bisa mendatangkan kebahagiaan.

Masyarakat Indonesia yang berduyun-duyun memadati Senayan di akhir tahun lalu tidak berupaya membuktikan nasionalisme mereka. Namun, mereka sejatinya mencari kebahagiaan di atas lapangan. Mereka bahkan bersedia membeli kebahagiaan itu meski harga tiket melambung memasuki babak-babak penentuan.

Penampilan para pemain timnas Indonesia yang gagah berani sepanjang AFF Suzuki Cup sebenarnya telah mampu membahagiakan masyarakat; tetapi jika dirasa ada sesuatu yang mengganjal kebahagiaan kita menikmati si kulit bulat, pasti ada yang salah dengan otoritas sepakbola negeri ini.

dikutip dari: goal.com (Agung Harsya)